Kalau anda beli satu saja majalah gaya hidup, anda pasti akan disuguhi kolom-kolom yang mengajarkan anda jadi pembeli setia barang-barang mewah. Di sampul majalah-majalah seperti itu terpampang foto-foto pria atau wanita impian, yang sepertinya tidak mungkin paras kecantikannya bisa anda samakan. Belum lagi poster-poster atau iklan di televisi yang membicarakan penghalus kulit, pelangsing tubuh, mode pakaian, dan sebagainya. "Kalau aku
nggak beli pemutih yang ini, masih bisa
nggak ya aku secantik dia? Ah, kayaknya
nggakmungkin, deh. Aku beli, ah!"
Kita sering sekali memangdang diri pakai "kacamata" yang bernama harta dunia. Punyahandphone, pakaian bermerek, gaya rambut paling baru, atau apa pun yang mewah dan berlebihan adalah alat untuk nunjukin"Inilah aku!" Bukan aku namanya kalau nggakpunyahandphone, kalau nggak pake pakaian mahal alias kalau nggak hedon." Orang zaman sekarang sulit untuk tidak tergiur dengan serangan gencar hedonisasi yang biasanya membuat anda jadi orang konsumtif, gengsian, dan selalu ikut-ikutan. Anda tidak punya ukuran yang jelas untuk menjelaskan diri anda sendiri. Hidup anda bergantung dengan produk-produk mewah. "Aku sebagaimana yang aku punya," begitulah slogan orang hedon.
Tapi, hati-hati juga, lho. Selain semua itu, harta dunia juga mencakup apa yang selama ini kita anggap sebagai sesuatu yang baik. Apa, tuh? Yaitu, keinginan anda yang berlebihan untuk meraih prestasi dan gelar, seperti menjadi kapten tim sebuah kelompok, ketua RW, atau karyawan terbaik tahun ini. Lho, bukannya prestasi dan gelar seperti itu baik? Ya, prestasi dan gelar itu memang baik. Yang tidak baik adalah ketergantungan diri anda dengan keinginan-keinginan untuk meraih dan memegangnya. Seolah tidak ada lagi di dunia ini yang harus anda kejar selain keinginan-keinginan itu. Semua yang dianggap kebaikan itu tidak seharga dengan diri anda. Karena ternyata diri anda bukanlah semata-mata "aku jadi karyawan terbaik" atau "aku ditunjuk jadi pemimpin tim ini" atau "aku jadi orang yang dihormati karena berhasil menyelesaikan masalah ini di kantorku." Diri anda bukan ditentukan oleh harga dunia anda. Ingatlah, "Harga diriku bukanlah harga prestasi dan ketenaranku."
Siapa anda tidak ditentukan oleh apa yang anda pakai dan prestasi apa yang anda dapatkan. Sekarang, kalau siapa anda ditentukan oleh mahalnya pakaian, tingginya prestasi, atau ketenaran, setelah tidak punya lagi pakaikan mahal, prestasi, atau ketenaran, maka siapa diri anda? Krisis, lagi! Disebutnya juga krisis identitas diri. Anda tidak percaya diri, ogah beraktivitas, mengurung diri, stres berat, bahkan (naudzubillah) ada juga lho, yang bunuh diri hanya karena penampilan dan prestasinya tidak sebagus sebelumnya.
Gaya hidup hedondan tingginya prestasi memang bisa bikin anda percaya diri. Tapi, kenyataan kalau suatu saat semua itu hilang dari tangan anda, pasti ada. Jadi, kalau rasa percaya diri anda ingin abadi, landasilah rasa itu dengan sesuatu yang abadi pula. Yang abadi itu diri kita sendiri, hati kita sumbernya. Sedangkan barang dan prestasi adalah sesuatu di luar diri kita. Dia bisa membantu, tapi ingat, dia bukan diri kita. Rasa percaya diri bagusnya datang dari kualitas hati anda, bukan dari kuantitas barang-barang yang anda miliki. Toh, yang mati punya handphone mewah, tetap mati juga, kan?
Ibrahim bin Adham mengajarkan kita begini, "Iman kepada Allah benar-benar tegak kalau kamu bisa menghilangkan tiga sifat hati ini, yaitu pertama, senang memiliki sesuatu, kedua, meratapi hilangnya sesuatu, dan ketiga, menikmati memuji diri ('ujb)." Poin pertama dan kedua berkaitan dengan barang mewah, sedangkan poin ketiga berhubungan dengan prestasi, yang sering sekali membuat kita ujub alias kebanggaan yang tidak wajar dan berlebihan.
Sultan Mustafa III bertanya kepada orang alim: "Apa kesenangan di dunia ini?"
Orang alim menjawab, "Makan, minum, kentut, dan buang air besar."
Jawaban ini membuat marah Sultan. Orang alim pun diusirnya. Tapi sebelum pergi, orang alim mengucapkan sumpah serapah, "Rajaku mudah-mudahan anda bisa makan dan minum, tapi tidak bisa apa-apa lagi selain itu." Maka kemudian, terbuktilah sumpah serapahnya itu. Sultan bisa makan dan minum, tapi tidak bisa kentut. Sakitnya semakin menjadi-jadi dari hari ke hari. Semua dokter di negerinya sudah turun tangan, tapi kondisi Sultan tetap tidak ada perubahan. Akhirnya, dia minta bantuan si orang alim dan memohon agar disembuhkan.
Orang alim berkata, "Kalau anda mau memberikan kerajaan anda padaku, aku pasti akan membuat anda bisa kentut sekarang juga." Sultan bengong, tapi dia tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau dia harus memberikan seluruh kerajaannya kepada orang alim. Orang alim pun menempelkan tangannya di atas perut Sultan dan memukulnya sekali. Sultan langsung bisa kentut dan bisa bernapas lega. "Anda lihat, Sultan," kata orang alim, "aku membeli kerajaanmu hanya seharga satu kentut."
Dunia kita sekarang juga sama harganya dengan kerajaan Sultan. Apa yang tidak abadi itu sama nilainya dengan kentut yang sekali dia keluar, langsung menghilang. Tapi, harga diri anda tidak semurah kentut, kan? Jadi, sekali lagi, kalau sewaktu-waktu semua barang berharga dan prestasi tinggi anda itu hilang, anda tidak usah merasa kehilangan diri karena diri andalah yang abadi. Bukankah para kiyai kita sering bilang kalau keikhlasan sejati itu ibarat sikap anda ketika anda buang air besar atau kentut? Keduanya ditekan, keluar, lalu menghilang, dan anda tidak pernah merindukannya kembali. Jadi, kaalu anda ingin ikhlas, anggap semua prestasi anda sebagai sesuatu yang wajar kalau terlepas dari diri anda. Siapa yang pernah mencari kembali kentutnya yang sudah keluar?
Setelah itu, anda harus tetap jadi diri anda sendiri yang mandiri dan kreatif menciptakan apapun yang mungkin anda ciptakan lagi dan lagi. Kalau anda sudah benar-benar menyadari harga diri anda, selain anda tidak lagi stres karena tidak punya mobil, anda juga tidak akan depresi karena tidak jadi karyawan terbaik atau karena gagal jadi ketua suatu tim. Karena kerelaan anda sama "kentut" yang terbuang itu, anda akan memiliki kesempatan untuk meraih kekayaan yang sejati.
Mana Si Kaya Sejati?
Seorang pedagang kaya memperhatikan seorang Darwis yang sedang berdo'a dengan khusyuknya di pojok pasar. Si Darwis, dengan pakaian kumalnya, kelihatan begitu saleh, taat, dan bersungguh-sungguh. Pedagang kaya tersentuh hatinya. Dia merasa kasihan melihat penampilan si Darwis yang kumal itu. Dia berniah mau memberi satu kantong koin emas kepada si Darwis.
"Aku tahu kamu pasti akan butuh uang ini untuk menambah kekhusyukan ibadah, mencari ridha Allah. Mohon ambillah!"
"Sebentar. AKu tidak yakin apakah sah bagiku mengambil uangmu. Apa benar kamu ini orang kaya? Apa kamu punya uang yang lebih di rumah?" tanya Darwis.
"Oya, paling tidak, aku punya seribu keping koin emas lagi di rumah," kata si pedagang dengan bangganya.
"Lalu, apakah kamu ingin seribu keping emas lagi?" tanya si Darwis.
"Tentu saja. Setiap hari aku bekerja keras untuk meraih uang lebih dan lebih," jawab si pedagang.
"Oh, begitu. Masih ingin seribu keping lebih banyak lagi?"
Darwis mengembalikan kantong uang yang berisi koin emas itu kepada si pedagang.
"Maaf, aku tidak bisa mengambil uang emasmu," kata Darwis. "Orang kaya tidak boleh meminta uang dari orang miskin."
"Hah, bagaimana bisa kamu menyebut dirimu orang kaya sementara aku orang miskin?" si pedagang protes.
Darwis menjawab, "Aku adalah orang kaya raya. Aku selalu puas dengan apapun yang Allah berikan. Kamu orang yang miskin, sebanyak apapun yang kamu punya, kamu tidak pernah puas. Dan juga, selalu meminta lebih dan lebih kepada Allah."
Orang kaya adalah orang yang dipenuhi kepuasan di hatinya. Anda yang kaya menjelaskan kedirian anda bukan oleh barang apa yang anda punya di genggaman. Anda percaya diri setiap waktu dan di setiap tempat, tanpa harus ada ini atau itu. Anda yang kaya sejati adalah yang tidak milih apa yang sudah digariskan Allah untuk anda. Mau diberi harta banyak, mau sedikit, anda terima. Harta yang banyak tidak membuat anda lupa, harta sedikit tidak membuat anda berkhayal, iri, dan rakus. Menjadi orang yang banyak harta tidak salah, menjadi orang yang sedikit harta juga tidak salah. Sebab, kekayaan itu bukan diukur dari banyak atau sedikitnya harta. Yang paling penting dan harus anda perhatikan adalah bagaimana memanfaatkan semua karunia itu di jalan yang benar. Jadi, kekayaan adalah ukuran dari hati anda untuk memanfaatkan apa yang dikaruniakan Allah di jalan yang benar.
Ada sebuah kisah tentang seorang nelayan miskin, yang juga seorang guru, yang terkenal dengan julukan "Syaikh Kepala Ikan." Dia pergi memancing setiap hari. Setelah memancing, dia membagikan hasilnya kepada orang-orang miskin di kampung. Cuma satu atau dua kepala ikan yag dia masak untuk sendiri. Salah satu murid Syaikh Kepala Ikan adalah seorang pedagang, yang biasa bolak-balik ke Kordoba (kota di Spanyol). Sebelum pergi ke Kordoba, sang murid dipesani sang Syaikh Kepala Ikan untuk memintakan nasihat-nasihat tentang akhlak kepada Syaikh ibn 'Arabi.
Sampailah si murid di rumah Ibn 'Arabi. Dia kaget, ternyata rumah Ibn 'Arabi yang jadi gurunya para sufi itu, pantasnya jadi istana raja. Sebuah rumah yang dikelilingi kebun-kebun yang indah, pelayannya hilir mudik, daging mewah di atas panggangan dengan piring emas, perempuan-perempuan muda yang cantik dan pemuda-pemuda yang tampan.
Si murid diantar menemui Ibn 'Arabi yang sedang memakai pakaian mewah yang mungkin cocoknya jadi seorang raja, bukan seorang sufi. Dia menyampaikan salam dari gurunya, termasuk menyampaikan permohonan gurunya tentang nasihat-nasihat agama dan akhlak. Ibn 'Arabi dengan tentangnya menasihati begini, "Sampaikan kepada muridku si Kepala Ikan kalau dia terlalu kadonyan (larut dengan keinginan duniawi)!" Pedagang itu kaget dan tersinggung. Kok bisa-bisanya sih, orang yang hidup dalam kemewahan duniawi sepreti Ibn 'Arabi memberi kritik begitu kepada gurunya yang miskin itu.
Si pedagang pun kembali ke rumah. Gurunya segera menanyakan tentang pertemuan si pedagang muridnya itu kepada Ibn 'Arabi. Pedagang menyampaikan kata-kata nasihat Ibn 'Arabi yang sedikit aneh itu. "Masa sih, orang yang kaya raya seperti Ibn' Arabi menyuruh kita untuk tidak terikat kepada dunia?" Si pedagang mengadu kepada Syaikh Kepala Ikan. Menurutnya, nasihat itu datangnya dari orang kaya raya, yang dibelit harta dunia.
Syaikh Kepala Ikan membalas, "Kamu harus tahu kalau masing-masing dari kita bisa memiliki kekayaan harta sebanyak yang bisa dicapai tanpa kehilangan penglihatan kepada Allah. Apa yang kamu lihat pada diri Ibn 'Arabi tidak hanya kekayaan harta, tapi keikhlasan dan kecintaan yang besar kepada-Nya."
Lalu, Syaikh Kepala Ikan menambahkan, dengan air mata menetes di matanya, "Guruku ibn 'Arabi itu berkata benar. Seringkali ketika malam, saat aku membuat sup dari kepala ikan, aku membayangkan kepala itu jadi ikan sungguhan yang utuh!"
Nah, disinilah letak kemiskinan Syaikh Kepala Ikan. Miskin itu artinya menginginkan sesuatu yang lain dari apa yang dimiliki saat ini. Kalau Syaikh Kepala Ikan itu ingin benar-benar disebu kaya, dia harus selalu merasa cukup dengan pemberian-Nya walaupun hanya sepotong kepala ikan. Sebaliknya, bagi ibn 'Arabi, harta yang sangat banyak tidak membuat dia lupa dan ingin lebih. Jadi, kunci kekayaan sejati ada pada saat benak anda berkata, "Cukup ya Allah, aku selalu puas dengan apa yang Engkau berikan." Ditambah lagi dengan pikiran seperti ini, "Bagaimana ya caranya agar harta yang aku punya ini bermanfaat di jalan Allah?" Nah, itulah kekayaan sejati.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dikutip dari buku Nyari Identitas Diri Karangan M. Ikhsan Hal. 178-187 dengan perubahan